Senin, 23 Maret 2009

Krizevac


Dalam agama Katolik, ada suatu kegiatan yang disebut dengan Jalan Salib, yaitu mengenangkan kembali peristiwa penyaliban Yesus. Jalan salib ini diadakan secara rutin tiap hari Jumat menjelang Paskah (peristiwa kebangkitan Yesus). Peristiwa penyalibannya dikenangkan kembali dalam 14 tahapan yang disebut stasi, dimulai dari Yesus dihukum mati, Yesus memanggul salib, dan lain-lain, sampai Yesus wafat di salib dan dimakamkan.

Kegiatan jalan salib ini selalu membawa saya pada kenangan akan jalan salib di Krizevac, Bosnia-Herzegovina. Pada waktu itu kami mengikuti tour ziarah ke Eropa, dan salah satunya adalah ke Medjugorje, tempat penampakan Bunda Maria pada 6 orang penduduk lokal. Krizevac lokasinya berdekatan dengan penampakan tersebut. Namun Krizevac sendiri sudah ada lama sebelum penampakan itu terjadi. 

Krizevac yang artinya gunung salib, dibangun mulai tahun 1933 dan selesai pada tahun 1934. Menurut cerita yang berkembang, pada tahun 1933 Bapa Suci, Paus Pius XI memimpikan adanya sebuah salib di bukit tertinggi di Herzegovina, dan kemudian ditanggapi oleh pastur setempat, yang kemudian bersama-sama umat sekitar berusaha mewujudkannya. 


Bukan hal yang mudah untuk membangun salib tersebut, karena tinggi bukitnya 520m dari permukaan laut. Para penduduk desa harus berjuang untuk dapat membawa bahan-bahan bangunan seperti semen, besi, air dan lain-lain naik ke atas bukit yang benar-benar curam itu.

Kini para peziarah berdatangan setiap waktu, pagi sampai siang hari. Tidak pandang usia, dari muda sampai tua, bahkan kakek dan nenek berusaha keras untuk bisa naik sampai ke lokasi salib yang berada di puncak bukit. Mereka saling tolong, yang muda membantu yang tua, mengingat jalannya sangat susah karena terjal dan berbatu-batu. Bahkan ada beberapa tempat yang hampir mustahil untuk dilewati, namun dengan susah payah, bisa juga dilalui.    

Saya pun dengan kondisi kaki yang belum benar-benar sembuh dari terkilir, tidak mau kalah dengan orang-orang tua tersebut. Dengan susah payah dan doa yang tak putus-putusnya, dari stasi ke stasi, berhasil juga naik sampai ke puncak. 

Tidak bisa dibayangkan bagaimana dulu yang dialami Yesus, sambil memanggul salib, mengalami penyiksaan seanjang jalan, bisa sampai ke bukit Kalvari, tempat Dia disalibkan. Benar-benar suatu pengorbanan untuk kita umatnya.   

Bila ingin melihat video mengenai Krizevac bisa lihat link ini http://www.youtube.com/watch?v=ePqXDF6P2CU

Sabtu, 21 Maret 2009

Pohsarang


Gereja Pohsarang dirancang oleh H. Mclaine Pont, seorang arsitek Belanda pada tahun 1930an. Terletak di lereng Gunung Wilis, sekitar 5 km dari kota Kediri. 

Memasuki kawasan gereja, seperti memasuki area candi, karena bangunan yang ada, mulai dari gerbang, menara lonceng, gereja dan gua, semuanya didominasi oleh batu bronjol, yang merupakan batu asli dari daerah sekitar.

Kita patut acungkan jempol pada arsitek Belanda tersebut, yang telah berhasil menggali potensi alam dan budaya masyarakat setempat dan kemudian mewujudkannya menjadi suatu gereja yang sangat  unik dan membumi. Kesan megah yang biasanya terdapat pada gereja Katolik tidak nampak. Seolah gereja ini berusaha merangkul semua yang ada di lingkungannya, termasuk dalam penggunaan gamelan sebagai alat musik gereja.

   

Bentuk atap gereja yang melengkung, dengan rangka terbuat dari baja, sebagai tempat genting bertumpu, sangat indah dan  memberikan kesan yang mendalam buat saya. Sepanjang misa, tidak henti-hentinya saya mengagumi atapnya.

 

Altarnya terbuat dari batu yang dipahat. Di bagian belakang altar terdapat relief di dindingnya, seperti yang sering kita jumpai juga di candi-candi. Patung-patung yang ada semuanya terbuat dari batu, menambah keunikan gereja tersebut.


Kami bersama rombongan sampai ke lokasi peziarahan Pohsarang tersebut siang hari dan kemudian menginap di daerah sekitar. Malamnya kami sempat ikut misa dan merasakan suasana doa yang sedikit berbeda dengan yang biasanya kami alami setiap minggunya. Sungguh suatu pengalaman yang tidak terlupakan.  

  

EcoVillage


Setelah puas melihat-lihat situs Banten lama, kami melanjutkan perjalanan ke EcoVillage. Bis kami berhenti di pelabuhan karena lokasi EcoVillage letaknya di tengah-tengah empang, dan hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki. Hujan yang turun sebelumnya membuat jalanan becek dan tanahnya lengket. Kami berjalan dengan ‘nyeker’ alias kaki telanjang, karena kalau nekad pakai sepatu/sandal, tanahnya nempel dan akibatnya susah berjalan. 

Berjalan di galangan tidaklah mudah, namun tidak menghambat teman-teman kami untuk sekali lagi memuaskan nafsu narsisnya dengan berfoto ria sepanjang jalan. Suasananya sungguh sangat gembira, seperti anak-anak TK saja layaknya, yang tidak pernah jalan-jalan ke pelosok desa.

Setelah bersusah payah, akhirnya kami sampai juga ke lokasi, dan disambut dengan minuman kelapa muda langsung dari batoknya dan makanan cemilan kerang rebus. Sungguh sangat nikmat. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan siang dengan menu bandeng lumpur (bandeng yang dilumuri lumpur kemudian dipanggang di atas arang), cumi dan lalapan.


Selesai makan siang, sambil makan jeruk dan durian, kami mendengarkan penjelasan dari Bpk Mukodas, pemilik lokasi, mengenai EcoVillage ini yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi terbuka.

Saya kutipkan keterangan tentang EcoVillage di bawah ini :

Sekilas tentang EcoVillage

Pengembangan kawasan pesisir pantai di utara kota Serang dengan konsep eco village yang mnggunakan pendekatan pada visi energi, ekonomi dan lingkungan yang kemudian diberi nama Kampung Tapak Bumi (tapak bumi village). Area ini merupakan proyek percontohan wisata bahari, eco tourism, aplikasi energi terbarukan, dan sebagai wujud tanggung jawab dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global.
Yang ditawarkan dalam kawasan ini adalah :

pemanfaatan energi listrik tenaga angin dan tenaga matahari, hunting photo sunset, kehidupan nelayan, makan sea food segar, hutan bakau, pengamatan burung, home stay, budi daya ikan bandeng, budi daya kepiting, wisata benteng-benteng peninggalan belanda, wisata kesultanan banten lama, wisata bahari

Untuk lebih detilnya bisa dilihat di blog www.indonesianvillage.com

Pada tahap awal sudah terbangun satu home stay bertenaga surya, penangkaran ikan dan budidaya kepiting. Secara bertahap pembangunan fasilitas lain diharapkan selesai terbangun di tahun 2009


Sebelum kembali ke Jakarta, di akhir acara kami menanam pohon nyamplung sebagai tanda dukungan kami terhadap pengembangan kawasan ini dan pelestarian alamnya.


Situs Banten Lama

31 Januari lalu, di pagi yang cukup cerah saya bersama teman-teman kantor mengikuti acara ‘ArchitecTour’ yang diadakan oleh IAI Banten (Ikatan Arsitek Indonesia cabang Banten). Kami berangkat dari BSD jam 9 pagi menumpang 2 bis kecil. Rombongan kira-kira terdiri dari 40 orang, kebanyakan adalah anggota IAI Banten sendiri, ditambah beberapa orang dari group lain. Rencananya kami akan mengunjungi situs Banten lama dan EcoVillage. 




Perjalanan ke situs Banten lama memakan waktu kurang lebih 1 jam. Tempat pertama yang kami datangi adalah benteng Surosowan, yang kira-kira luasnya 4 ha. Kami sempat berfoto ria di depan benteng yang merupakan saksi sejarah keberadaan Kesultanan Banten masa lampau. Sayangnya kami tidak bisa masuk ke dalam benteng, di mana terdapat reruntuhan keratonnya, karena juru kuncinya tidak ketemu.

Setelah masing-masing peserta memuaskan nafsu narsisnya, dengan berfoto segala macam gaya di depan benteng, kami melanjutkan perjalanan ke bagian samping benteng, di mana terdapat Mesjid Agung dan musium purbakala.  

    

Dalam situs kepurbakalaan Banten masih ada beberapa unsur, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu.


Kesultanan Banten pada masa jayanya meliputi daerah yang sekarang dikenal dengan daerah Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-19 Banten mempunyai arti dan peranan yang penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara, khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatra Selatan. Kota Banten terletak di pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lintas pulau Sumatra dan Jawa.

Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintahan Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad.


Jumat, 20 Maret 2009

Singapore Botanical Garden


Hal-hal yang berbau alam selalu menarik perhatian saya, maka waktu ada kesempatan ke Singapore, saya usahakan mampir ke Botanical Gardennya. 

Botanical Garden Singapore, yang dibangun tahun 1859, terletak dekat pusat kota dan memiliki lahan seluas 54 ha. Berbagai ragam tanaman tropis ada di situ. Salah satu yang terkenal adalah koleksi anggreknya, ada kurang lebih 20.000 pohon anggrek dipelihara di situ. 


Taman-tamannya indah dan nyaman, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkannya sebagai area jogging di waktu pagi, dan juga piknik bersama keluarga. Bahkan ada yang jogging dengan membawa hewan peliharaannya juga… J



Tersedia juga cafe untuk sekedar duduk-duduk ngopi dan menikmati sarapan, serta toko suvenir yang menjual bros berbentuk anggrek, suvenir khas Singapore. 

    

Kungkungan Bay Resort

Kungkungan Bay Resort dibangun selaras dengan alam, di bekas perkebunan kelapa. Untuk sampai ke lokasi dibutuhkan waktu kira-kira 20 menit  melalui jalan terjal dan berliku dari Kota Bitung. 

Namun penat yang dirasa di perjalanan sontak menghilang begitu sampai ke lokasi. Pemandangannya sangat indah, menghadap ke Selat Lembeh. Di restoran yang terletak di atas air, kita dapat melihat ikan berwarna-warni yang sedang berenang kian kemari.

 











Setelah menikmati makan siang, kami berjalan-jalan di area resor, melihat-lihat bangunan dan fasilitas yang ada. Sayangnya kami tidak punya cukup banyak waktu untuk bisa bermalam di situ, mungkin lain waktu jika ada kesempatan lagi.


Taman Nasional Tangkoko

Pada hari keempat liburan kami di Manado, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi Taman Nasional Tangkoko, yang berada di Batu Putih, Bitung Utara, Sulawesi Utara. Perjalanan dengan mobil sewaan memakan waktu kurang lebih 2 jam.

Kawasan konservasi Tangkoko ini menyimpan banyak kekayaan alam Sulawesi, yaitu berupa satwa-satwa unik yang tidak ditemukan di daerah lain. Beberapa satwa yang sempat kami jumpai di sini adalah : tarsius, monyet hitam dan burung rangkong.

Tarsius adalah spesies primata terkecil di dunia, sering disebut sebagai binatang hantu, karena wajahnya pun mirip hantu. Bentuk badannya kecil, mirip kera, tapi matanya besar. Saat siang, Tarsius bersembunyi di lubang-lubang batang pohon. Begitu malam tiba mereka keluar dari sarangnya berburu kecoa, jengkerik, dan serangga kecil lainnnya. Matanya yang besar sangat tajam di kegelapan malam.  








Saat kami tiba di sana, hari masih sore dan Tarsius masih bersembunyi di lubang pohon. Salah seorang pemandu dari wisatawan-wisatawan asing sudah menyiapkan belalang untuk memancing binatang tersebut supaya keluar dari sarangnya. Dalam hitungan detik, tarsius berhasil menangkap umpan tersebut dan segera bersembunyi kembali dalam sarangnya. Untunglah, kami masih dapat memotret binatang tersebut sebagai kenang-kenangan.

Kami juga berjumpa dengan segerombolan monyet hitam (Macaca niagra) yang diberi nama Rambo I sampai Rambo III sesuai dengan klasifikasi umurnya untuk memudahkan pemantauan kehidupan mereka. Kawasan ini, karena keunikannya memang menarik banyak peneliti baik asing maupun lokal.

Pesisir pantai Tangkoko yang berada di Utara Sulawesi, berbeda dengan pantai-pantai lain pada umumnya, memiliki pasir yang bulat kecil-kecil dan hitam mengkilat. Berhubung belum pernah bertemu pasir yang seperti ini, kami sempatkan untuk mengambil sejumput untuk souvenir… agak norak ya.. :-)

Setelah puas melihat-lihat, kami melanjutkan kembali perjalanan kami. 

Rabu, 18 Maret 2009

Bunaken

Desember 2004, berbeda dengan kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, yaitu merayakan Natal di sekitar Bogor dan Jakarta, kami mengadakan perjalanan ke Manado untuk mencari suasana liburan yang baru. 

Tiba di Manado tanggal 23 dan dari airport kami langsung menuju ke pelabuhan untuk menyeberang ke Bunaken. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 25 menit dengan menumpang perahu kecil bermotor. Selama perjalanan hujan turun dengan deras dan perahu sempat hanya berputar-putar karena kehilangan arah, kejadian yang sama seperti yang terjadi saat menyeberang ke Pulau Peucang.  

Kami menginap di cottage tempat para ‘divers’ dari seluruh penjuru dunia berkumpul. Rata-rata banyak yang sudah pernah datang ke sana lebih dari sekali. Memang Bunaken merupakan tempat yang cukup terkenal di dunia karena ‘vertical reef’ nya. Para divers ini mendapat keistimewaan selama di Bunaken, mereka yang punya lisensi mendapat potongan-potongan harga, baik untuk menginap, maupun menyewa peralatan menyelam.


 










Agak malu juga, karena jauh-jauh ke sana, kami cuma mau snorkeling… tapi ya mau bagaimana lagi, kami memang  belum pernah menyelam dan untuk kursus menyelam serta mendapatkan sertifikat PADI biayanya tidak sedikit. 

Esoknya kami berkeliling dengan perahu sewaan kami untuk mencari lokasi-lokasi yang bagus untuk snorkeling.









Wow… benar-benar pengalaman yang tak terlupakan, melihat warna-warni indahnya karang-karang dan ikan yang berenang ke sana ke mari. Sayang sekali kami tak punya kamera yang bisa memotret di dalam air, jadi keindahannya cuma bisa dinikmati saat itu.

Sayang juga kami juga cuma punya waktu seharian untuk berkeliling di sekitar Bunaken karena harus kembali ke Manado hari itu juga untuk misa malam Natal di sana.

   

Selasa, 17 Maret 2009

Tirtha Uluwatu

Dua tahun yang lalu saya diundang kawinan sepupu di Tirtha Uluwatu, Bali.

Berada tinggi di atas tebing, di selatan Bali, dengan panorama Samudra Hindia, Tirtha Uluwatu benar-benar merupakan tempat yang indah untuk melangsungkan pernikahan. Semua fasilitas yang ada di tempat itu didesain untuk membuat hari yang special tersebut menjadi kenangan yang tidak terlupakan seumur hidup.  


  

Upacara nikahnya dilakukan pada sore hari, saat suasana masih terang, sehingga para undangan masih dapat menikmati keindahan pemandangan di tempat tersebut. Reflecting pool yang mengelilingi bangunan-bangunan yang ada menambah kecantikan area tersebut.



Setelah upacara selesai dan hari mulai menjelang malam, dilanjutkan dengan acara makan, sebagian di dalam ruangan dan sebagian lagi di udara terbuka. Kursi dan meja ditata dengan cantiknya, menambah keindahan suasana. Demikian juga lightings yang diatur dengan apiknya, membuat suasana syahdu dan romantis. Sayang saya tidak punya foto-foto saat malam hari, karena sibuk makan dan beramah-tamah... :-)











Pamengpeuk


Waktu masih punya proyek di Garut, saya pernah ditawari untuk dibawakan kepiting jumbo, katanya dari daerah Pamengpeuk, di selatan Garut. Saya tanya ke mereka, apa memang di sana banyak kepiting… o ya, banyak katanya. Wah, menarik juga… kapan-kapan saya harus lihat sendiri ke sana… soalnya secara makanan, saya ini paling doyan makan seafood, terutama kepiting. Kapan lagi bisa makan kepiting di sumbernya… pasti fresh dan yang penting pasti murah, jadi bisa makan sepuasnya. 

Jadi, begitu ada kesempatan, saya ajak teman-teman yg hobbynya jalan-jalan, Asen dan keluarganya… yang dulu pernah ikutan ke pulau Peucang, untuk bareng-bareng naik mobil ke sana.

 

Perjalanannya cukup jauh juga dari Garut, kira-kira 4 jam lamanya.  Jalanannya cukup mulus namun kecil dan berkelok-kelok. Untungnya sepanjang jalan sangat asri, banyak pohon-pohon dan sempat melewati kebun teh serta kopi. Sepanjang perjalanan, jendela mobil kami buka, terasa benar sejuknya udara pegunungan, barang yang sangat langka untuk didapat terutama di kota besar.  Setelah berjam-jam dan pantat mulai pegal, akhirnya sampai juga ke lokasi pantainya..

   

Ternyata di lokasi memang banyak sekali kepitingnya, berkeliaran di beberapa tempat. Sayangnya ukurannya cuman sekepalan tangan… whuaaaa… ini sih anakan kepiting, belum bisa dimakan. Agak kecewa juga sebetulnya… tapi cukup terhibur karena belum pernah melihat kepiting berendeng-rendeng seperti itu.

  

Pantainya masih alami, dengan pasir putih dan karang-karang… hanya ada 1-2 penginapan saja. Kelihatan sangat sepi, apakah memang sehari-hari juga begitu, atau mungkin karena bukan musim liburan.. entah, kurang jelas. Untungnya masih ada 1 warung yang buka sehingga kami bisa mengisi perut yang sudah keruyukan karena lama belum diisi. Menunya cuma ikan bakar, pakai bumbu kecap… tapi kami makan dengan lahap. 

Sorenya setelah puas berkeliling, kami kembali ke Garut. 

Senin, 16 Maret 2009

Jim Thompson House

Juni 2002, kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi Bangkok dan sekitarnya. Salah satu tempat yang menjadi favoritku adalah Jim Thompson House.

Jim Thompson adalah seorang Amerika yang mempunyai latar belakang pendidikan arsitek. Pada saat Perang Dunia II dia menjadi sukarelawan dari Angkatan Bersenjata Amerika dan sempat ditugaskan di Afrika Utara, kemudian Itali, Perancis dan Asia

Pada saat Perang Dunia II berakhir dengan tiba-tiba, JT sedang dalam perjalanan menuju ke kota Bangkok. Pada akhirnya JT menetap di Thailand karena jatuh hati pada negara ini dan penduduknya. Kemudian dengan naluri bisnis dan kecintaannya pada seni, JT mulai tertarik untuk mengembangkan sutra Thailand yang pada saat itu hanya dipakai dalam acara-acara yang terbatas. Dia berusaha memperbaiki kualitas sutra yang ada yg sehingga warnanya tidak cepat pudar dan menjadi bahan yang menarik perhatian dunia.    

Selanjutnya perusahaan yang dia rintis menjadi perusahaan sutra Thai yang sukses dan dikenal di dunia. Sayangnya keberadaan JT sendiri tidak diketahui sampai sekarang. Dia dinyatakan hilang saat sedang liburan bersama-sama dengan teman-temannya di Malaysia pada tahun 1967.

    

Barang-barang yang dipamerkan dan dijual di JT House semuanya bagus. Sayangnya harganya tidak sesuai dengan kocekku, sehingga setelah berkeliling melihat galerinya, pada akhirnya sebagai seorang landscaper aku lebih tertarik pada bangunan dan taman yang ada.

Bangunan rumahnya cukup unik, berbahan dasar kayu dan warnanya merah menarik mata. Taman yang mengelilingi rumah tersebut sangat indah, dengan beraneka ragam tanaman tropis mulai dari pakis, anthurium, alocasia, sampai ke anggrek yang berbunga warna-warni. Ditata secara alami namun tetap ada kesan rapi.

Berikut ini foto-foto yang sempat kami ambil waktu berkeliling rumah dan halamannya....